Dialog antar umat beragama adalah forum yang sudah terbuktikan mempunyai makna mendekatkan hubungan antara Majelis-majelis Agama yang berada dan keberadaannya diakui di Indonesia. Dalam menghadapi dinamika masyarakat yang demikian pesatnya, forum dialog antar agama bisa menjadi forum untuk saling pengertian dan mencegah kemungkinan salah pengertian.
Dengan topik Dialog dan Kerjasama Agama-agama dalam mengatasi kimiskinan kita bisa saling mengenal pandangan masing-masing terhadap masalah yang aktual dan sangat menyentuh kepentingan orang banyak dan sangat berhubungan dengan kepentingan nasional. Gagasan untuk menyelenggarakan dialog dengan topik “Dialog antar Agama dan Mengatasi Kemiskinan” sudah merupakan sikap yang tanggap dan sekaligus kepedulian akan penderitaan orang lain. Dialog seperti ini akan mempunyai nilai universal dalam pengertian bahwa kemiskinan itu mempunyai arti yang sangat luas, yang bisa menimpa siapa saja di muka bumi ini. Kemiskinan itu sebagai penderitaan manusia terjadi kapan saja, dan mempunyai dua sisi yaitu kemiskinan fisik dan kemiskinan batin. Kesediaan berdialog soal kemiskinan tidak akan berhenti pada satu titik karena kepedulian kita kepada penderitaan orang lain adalah manifestasi rasa kasih sayang dan bakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita punya kepedulian yang tak kunjung putus untuk saling memelihara sesama umat manusia.
Tugas dan tanggung jawab sabagai lembaga agama adalah menegakkan sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” mewarnai segala aspek kehidupan, sehingga Sila pertama menjadi benang halus yang ikut terajut dan mengalir dalam setiap pelaksanaan dan implementasi dari Sila lainnya dalam Pancasila. Hanya dengan cara itu kita bisa ikut berperanan dalam mencegah fragmentasi pelaksaan dan penerapan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dengan menekuni tugas kita menegakkan Sila Ketuhanan kita mewarnai pembangunan yang manusiawi dan berkeadilan sosial, sebab berketuhanan harus dibuktikan lewat kasih sayang dan saling kepedulian sesama makhluk dan ciptaan Tuhan di jagat raya ini. Dengan sikap itu, kiranya kita tidak perlu bertumpang tindih dengan pembahasan yang sudah diselenggarakan oleh kelompok lain seperti organisasi politik, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi profesi, cendikiawan dan lain-lainnya. Pembahasan tentang kemiskinan yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok lain pasti menggunakan sudut pandang profesi atau disiplin ilmu atau bahkan kepentingan kelompok lainnya, dan pasti tidak mewakili kepentingan untuk menegakkan Sila Ketuhanan.
Sebelumnya perhatian harus kita cuahkan kepada penyebab dari adanya jurang kaya miskin, penyebab dari ketidakadilan sosial, penyebab yang menghilangkan wajah manusiawi dari pembangunan kesejahteraan, dan penyeban timbulnya kemiskinan batiniah. Pemerataan dan ketidakadilan sosial adalah sisi lain daripada wajah kemiskinan. Isi pemerataan dan ketidakadilan muncul setelah adanya pembangunan. Yang patut kita kaji sedalam-dalamnya adalah sistem tanpa penangkal kemiskinan. Secara idealistis semua sistem ekonomi bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduknya. Pertimbangan dalam menentukan pemilihan sistem itulah yang perlu diwarnai dengan pertimbangan “berkeimanan” dan “berperikemanusiaan”.
Dengan pandangan “keimanan” dan “peri kemanusiaan” sebuah masyarakat bisa mencegah anggotanya untuk sampai kepada sikapberpacu dan berlomba dalam mengejar pemilihan atas objek duniawi yang akhirnya mengantarkan mereka kepada masyarakat berstrata kaya miskin yang sangat mencolok. Mendewakan ideologi duniawi dengan dukungan science dan teknologi inilah yang punya kecenderungan meninggalkan aspek kemanusiaan dan aspek spiritual dalam kehidupan manusia. Dari sinilah awalnya proses kemiskinan batiniah.
Kemiskinan batiniah dan proses pemiskinan secara sistematis inilah bidang garapan kaum agama. Maka dalam menghadapi ideologi duniawi inilah Majelis Agama yang ada di Indonesia perlu meletakkan strategi mental spiritual, sehingga tetap terpelihara pembangunan yang berwawasan kemanusiaan serta meletakkan nilai tambah berupa spiritualitas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yaitu manusia seutuhnya. Tanpa upaya yang tulus dan serius, bukan hanya formalistis, seperti ikut-ikutan memakai angka statistik menghitung jumlah umat, maka cepat atau lambat manusia Indonesia akan kehilangan wajah ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan adalah masalah kualitatif bukan kuantitatif. Spiritualitas adalah sumber dari nilai, etika, sikap hidup yang penuh kepedulian dan saling memelihara satu sama lain, dalam kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. Dharma adalah ajaran, perbuatan, kasih sayang yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pengertian sempit apabila kita terpanggil untuk mengatasi kemiskinan dengan jalan mengalirkan keimanan menjadi amal, bhakti sosial dan kedermawanan kepada orang yang dirundung kemiskinan, sudah tentu dapat dialirkan dalam bentuk apa pun, seberapa pun kemampuan untuk melaksanakannya tanpa gembar-gembor. Sebab pada dasarnya amal, dharma, bahkti tidak menuntut pengakuan, dan dapat dilakukan di mana saja serta kapan saja, untuk siapa saja. Justru sikap kedermawanan itulah yang perlu kita tiupkan, agar mereka yang sudah berlebih mengendalikan nafsu konsumsinya dan mengalirkannya kepada yang membutuhkan. Sikap kedermawanan tidak membutuhkan organisasi atau manajemen melainkan ketulusan bhakti, seperti bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan topik Dialog dan Kerjasama Agama-agama dalam mengatasi kimiskinan kita bisa saling mengenal pandangan masing-masing terhadap masalah yang aktual dan sangat menyentuh kepentingan orang banyak dan sangat berhubungan dengan kepentingan nasional. Gagasan untuk menyelenggarakan dialog dengan topik “Dialog antar Agama dan Mengatasi Kemiskinan” sudah merupakan sikap yang tanggap dan sekaligus kepedulian akan penderitaan orang lain. Dialog seperti ini akan mempunyai nilai universal dalam pengertian bahwa kemiskinan itu mempunyai arti yang sangat luas, yang bisa menimpa siapa saja di muka bumi ini. Kemiskinan itu sebagai penderitaan manusia terjadi kapan saja, dan mempunyai dua sisi yaitu kemiskinan fisik dan kemiskinan batin. Kesediaan berdialog soal kemiskinan tidak akan berhenti pada satu titik karena kepedulian kita kepada penderitaan orang lain adalah manifestasi rasa kasih sayang dan bakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita punya kepedulian yang tak kunjung putus untuk saling memelihara sesama umat manusia.
Tugas dan tanggung jawab sabagai lembaga agama adalah menegakkan sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” mewarnai segala aspek kehidupan, sehingga Sila pertama menjadi benang halus yang ikut terajut dan mengalir dalam setiap pelaksanaan dan implementasi dari Sila lainnya dalam Pancasila. Hanya dengan cara itu kita bisa ikut berperanan dalam mencegah fragmentasi pelaksaan dan penerapan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dengan menekuni tugas kita menegakkan Sila Ketuhanan kita mewarnai pembangunan yang manusiawi dan berkeadilan sosial, sebab berketuhanan harus dibuktikan lewat kasih sayang dan saling kepedulian sesama makhluk dan ciptaan Tuhan di jagat raya ini. Dengan sikap itu, kiranya kita tidak perlu bertumpang tindih dengan pembahasan yang sudah diselenggarakan oleh kelompok lain seperti organisasi politik, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi profesi, cendikiawan dan lain-lainnya. Pembahasan tentang kemiskinan yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok lain pasti menggunakan sudut pandang profesi atau disiplin ilmu atau bahkan kepentingan kelompok lainnya, dan pasti tidak mewakili kepentingan untuk menegakkan Sila Ketuhanan.
Sebelumnya perhatian harus kita cuahkan kepada penyebab dari adanya jurang kaya miskin, penyebab dari ketidakadilan sosial, penyebab yang menghilangkan wajah manusiawi dari pembangunan kesejahteraan, dan penyeban timbulnya kemiskinan batiniah. Pemerataan dan ketidakadilan sosial adalah sisi lain daripada wajah kemiskinan. Isi pemerataan dan ketidakadilan muncul setelah adanya pembangunan. Yang patut kita kaji sedalam-dalamnya adalah sistem tanpa penangkal kemiskinan. Secara idealistis semua sistem ekonomi bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduknya. Pertimbangan dalam menentukan pemilihan sistem itulah yang perlu diwarnai dengan pertimbangan “berkeimanan” dan “berperikemanusiaan”.
Dengan pandangan “keimanan” dan “peri kemanusiaan” sebuah masyarakat bisa mencegah anggotanya untuk sampai kepada sikapberpacu dan berlomba dalam mengejar pemilihan atas objek duniawi yang akhirnya mengantarkan mereka kepada masyarakat berstrata kaya miskin yang sangat mencolok. Mendewakan ideologi duniawi dengan dukungan science dan teknologi inilah yang punya kecenderungan meninggalkan aspek kemanusiaan dan aspek spiritual dalam kehidupan manusia. Dari sinilah awalnya proses kemiskinan batiniah.
Kemiskinan batiniah dan proses pemiskinan secara sistematis inilah bidang garapan kaum agama. Maka dalam menghadapi ideologi duniawi inilah Majelis Agama yang ada di Indonesia perlu meletakkan strategi mental spiritual, sehingga tetap terpelihara pembangunan yang berwawasan kemanusiaan serta meletakkan nilai tambah berupa spiritualitas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yaitu manusia seutuhnya. Tanpa upaya yang tulus dan serius, bukan hanya formalistis, seperti ikut-ikutan memakai angka statistik menghitung jumlah umat, maka cepat atau lambat manusia Indonesia akan kehilangan wajah ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keimanan adalah masalah kualitatif bukan kuantitatif. Spiritualitas adalah sumber dari nilai, etika, sikap hidup yang penuh kepedulian dan saling memelihara satu sama lain, dalam kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. Dharma adalah ajaran, perbuatan, kasih sayang yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pengertian sempit apabila kita terpanggil untuk mengatasi kemiskinan dengan jalan mengalirkan keimanan menjadi amal, bhakti sosial dan kedermawanan kepada orang yang dirundung kemiskinan, sudah tentu dapat dialirkan dalam bentuk apa pun, seberapa pun kemampuan untuk melaksanakannya tanpa gembar-gembor. Sebab pada dasarnya amal, dharma, bahkti tidak menuntut pengakuan, dan dapat dilakukan di mana saja serta kapan saja, untuk siapa saja. Justru sikap kedermawanan itulah yang perlu kita tiupkan, agar mereka yang sudah berlebih mengendalikan nafsu konsumsinya dan mengalirkannya kepada yang membutuhkan. Sikap kedermawanan tidak membutuhkan organisasi atau manajemen melainkan ketulusan bhakti, seperti bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(Tulisan ini adalah tugas mandiri - Literatur- Mata Kuliah Teologi Agama-agama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar