Sore itu hujan deras mengguyur kota yang sejuk ini. Ya, Tomohon dikenal dengan kota yang sejuk karena letaknya yang berada di puncak tanah Minahasa. Karena letaknya juga banyak bunga yang indah tumbuh di tanah Tomohon, tanah yang subur. Tidak hanya bunga, tetapi juga rempah-rempah hingga tanaman obat ditanam di kota ini. Sungguh, alangkah indahnya negeri yang Tuhan berikan ini.
Seperti biasa, dengan kondisi cuaca yang membuat udara semakin dingin, aktivitas para warga pun berkurang. Aku pun melihat tangan kananku yang dililitkan jam tangan hitam merek Swiss Army imitasi yang ku beli di mall setahun yang lalu.
"Ah... Ternyata sudah pukul 4 sore, lama juga aku menunggu di sini" kataku dalam hati.
Memang, hujan sudah mengguyur kota ini sejak jam 2 siang tadi. Aku yang baru selesai kuliah terpaksa harus menunggu hujan reda di halte bus depan kampus.
"Huuuuh" aku mulai bosan.
"Aku ingin pulang ke koooooooooos" teriakku dalam hati kecilku. Meronta.
Lelah, ngantuk, sendiri, basah, tak ada payung. Itulah kondisiku pada saat itu. Sejenak ku berdiam diri dan memikirkan apa yang bagus untuk dilakukan di saat seperti ini. Tiba-tiba seperi di dalam dunia kartun, lampu kuning 5 watt menyala terang benderang di atas kepalaku. Aku ada ide. Setahuku dari pengalaman temanku, ada rumah kopi terkenal di dekat kampus. Katanya, kopinya enak. Selain itu juga tersedia aneka jenis roti yang enak-enak. Sembari membayangkannya, di dalam perutku seperti ada lomba marching band. Perutku lapar.
Sudah ku putuskan, sebaiknya aku ke sana sebelum aku membeku di halte ini, mati, membusuk, dan tak ada seorang pun yang tahu. Sadis, mengerikan. Lalu aku berdiri dengan cepat, memandang ke kiri dan ke kanan, melihat kalau ada angkot yang hendak lewat. Tetap memperhatikan, seperti mata elang yang selalu mengawasi mangsanya. Ku pasang tatapan tajam. Lima menit kemudian, aku melihat sebuah angkot berwarna biru langit datang melaju dari kejauhan, menerobos derasnya hujan. Aku pun dengan sigap mengangkat tangan kananku lurus vertikal dengan membuka jari telunjukku lurus ke depan, tanda aku ingin memberhentikan angkot itu. Tak lama kemudian angkot itu pun berhenti. Sejenak aku memperhatikan angkot itu dengan seksama. Mulai dari kursi belakang sampai ke supir. Aku melihat di belakang ada tiga anak perempuan yang mengenakan seragan SMA lengkap. Sepertinya mereka baru pulang sekolah. Kemudian di kursi tengah ada sepasang laki-laki dan perempuan yang sepertinya baru saja kehujanan karena pakaian mereka terlihat basah. Kemudian di kursi belakang supir ada dua orang nenek-nenek duduk termangu. Kaki mereka becek, mereka duduk membungkuk dan masing-masing menggenggam keranjang kosong yang sudah mulai lubang di bagian sampingnya. Mungkin mereka mau ke pasar. Penglihatanku kemudian beranjak ke kursi samping supir. Kosong. Tanpa menunggu lama, aku pun langsung mengulurkan tanganku seraya membuka pintu depan angkot dan aku pun masuk.
"BRAK" suara pintu yang ku tutup agak keras karena pintunya sudah agak karatan.
"Mau ke mana?" tanya sang supir datar dengan tatapan fokus ke depan.
"Ke rumah kopi pak. Depan kampus UKIT" jawabku sambil membersihkan wajah dan tanganku yang basah.
Tanpa merespon jawabanku, sang supir pun langsung menjalankan mobilnya. Pelan namun pasti ia mengendarai mobil angkotnya. Sesekali mataku mencoba melihat si supir yang sedang asyik mengendarai. Ternyata si supir sudah tua. Rambutnya putih dan sebagian rambutnya sudah rontok. Tubuhnya kurus. Kulitnya putih berkeriput. Matanya melihat dengan tajam jalanan yang dilalui. Kumisnya tipis, putih. Dilehernya dililitkan handuk putih kecil yang dipakainya sesekali membersihkan tubuh dari air hujan.
"Umur berapa pak?" tanyaku memecah kesunyian.
"Enam puluh lima, dik" jawabnya dengan tatapan tetap tajam ke dapan. Aku pun terkejut mendengarnya.
"Enam puluh lima pak?" tanyaku terkejut dan seolah tak percaya.
"Kenapa masih kerja pak? Kan sebaiknya bapak di rumah..." sambungku.
Ia tidak menjawab. Suasana pun kembali hening. Hanya terdengar suara mesin mobil angkot karatan yang dikendarainya.
Tak lama kemudian.
"A...aa..aku harus melakukannya, dik." jawabnya berat. Kali ini ia menatapku sejenak.
Dari tatatapan matanya, ada sesuatu yang sangat menyedihkan dan di pendam dalam batin, menunggu untuk diungkapkan. Aku pun tak kuasa menahan rasa penasaranku.
"Memangnya kenapa pak? Apa bapak punya masalah? Keluarga bapak di mana?" Aku melontarkan pertanyaan bertubi-tubi kepadanya. Aku penasaran. Aku ingin tahu.
"Karena aku harus menghidupi istriku yang setia menungguku di rumah." jawabnya pelan.
"Setahun yang lalu anak-anakku meninggalkan aku dan istriku. Padahal seluruh kehidupan kami telah kami percayakan kepada mereka. Namun mereka pergi dan tak kembali sampai saat ini." sambungnya dengan bibir yang bergemetar dan mata yang mulai membengkak ingin mengeluarkan cairan bening tanda kesedihan.
"Aku terpaksa melakukannya, dik." sambungnya.
Aku terdiam sejenak. Merenungkan betapa sedih dan kecewanya orang tua yang ada disampingku. Aku mulai berempati. Aku ingin bertanya lagi. Namun belum sempat mulutku mengeluarkan kata-kata yang ingin ku tanyakan. Ia kembali berkata
"Namun aku menikmatinya, dik. Dan aku pun yakin mereka, anak-anakku, akan kembali." katanya sembari memberikan senyuman kepadaku. Menurutku itu adalah senyuman terbaiknya. Senyuman yang ingin menunjukkan bahwa ia adalah manusia tangguh dan tak kenal menyerah. Aku salut. Aku bangga.
Masih banyak yang ingin ku tanyakan padanya. Namun tempat tujuanku sudah terlihat dengan jelas. Memang tempat tujuanku dari halte bus kira-kira hanya lima ratus meter.
"Depan saja, pak." kataku.
Ia pun menepikan mobilnya dan memberhentikanya tepat di depan rumah kopi tujuanku. Aku pun segera turun dan tanganku mulai mengais-ngais tas samping hitamku yang ku beli di Bali dua bulan lalu, yang bertuliskan BALI SURF CLUB untuk mencari uang ongkos angkot. Tak berapa lama tanganku mengeluarkan selembar uang seribu dan dua koin lima ratus rupiah. Ku ulurkan tangan kananku kepada supir tua yang tak sempat ku tanyakan namanya. Ia pun menyambutnya dengan membungkuk ke samping dan mengulurkan tangan kanannya untuk menerima uang yang ku berikan. Sesaat ku pandang wajahnya yang kusam.
"Ada kesedihan di sana." kataku dalam batinku.
"Terima kasih ya, Dik." katanya mangaburkan hayalku.
Tak berapa lama mobil angkot itu pun pergi dengan sejuta pertanyaan dalam pikiranku. Aku masih berdiri termenung di tengah derasnya hujan. Mataku terus memandang mobil angkot karatan yang baru saja mengantarku. Asap hitam keluar dari knalpot berkarat milik si supir tua. Angkot itu pun pergi semakin jauh dan kemudian mulai menghilang dalam kabut. Aku pun berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah kopi yang ada di belakangku.
Kubersihkan sepatu Ardiles abu-abu yang kupakai dengan menggesek-gesekkannya di keset kulit kelapa yang ada di pintu masuk. Tanganku membersihkan wajah dan rambutku yang basah. Untung saja baju merek sixty one hitam dan celana jins abu-abu yang kupakai hanya basah separuh.
Kuayunkan ringan kakiku melangkah masuk ke dalam ruangan rumah kopi tersebut. Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku melangkah dengan pasti. Lima. Enam. Aku berhenti. Mataku memandang dengan seksama seluruh isi ruangan. Waw, aku seperti berada di negeri pelangi. Seluruh interior yang ada di ruangan itu berwarna-warni cerah. Aku terpukau dengan desain warna yang disajikan. Seperti semangkuk salad yang berisikan sayur-sayur yang segar dan berwarna cerah siap disantap. Biru, merah, kuning, hijau, menghiasai seluruh meja dan kursi yang ada. Dindingnya berwarna orange seakan senyum kepadaku tanda menyambut dengan ceria kedatanganku. Hidungku dipuaskan dengan wangi ruangan yang menggunakan pengharum ruangan otomatis. Orange. Wanginya serasi dengan warna dinding ruangan. Sungguh...mempesona.
Aku pun melanjutkan langkah kakiku menuju kursi yang akan ku tempati. Naluriku membawaku ke tempat yang paling pojok dekat jendela. Setelah aku duduk, aku mengacungkan tanganku tanda memanggil pelayan. Tak lama kemudian pelayan datang. Seorang pemuda, laki-laki hitam kurus memakai setelan celana panjang jins hitam, sepatu kets hitam, kemeja tangan pendek putih polos dan kulihat nametag-nya tertulis Randy. R-A-N-D-Y.
"Mau pesan apa, Pak? Ini menunya." katanya sambil tersenyum dan menyodorkan menu ke mejaku.
Untuk sesaat aku hanya bisa tertawa dalam hati karena baru saja aku dipanggil bapak oleh seorang pemuda yang mungkin saja seumuran denganku.
"Tunggu sebentar ya." kataku dengan sopan.
"Tunggu sebentar ya." kataku dengan sopan.
Ku angkat menu itu dan kulihat daftar menu yang ada. Mataku langsung tertuju pada daftar menu kopi. Aku ingin mencari sesuatu yang hangat yang dapat membebaskanku dari udara dingin yang membelengguku. Ku perhatikan satu per satu daftar itu. Kopi biasa. Kopi Susu. Kopi Jahe. Kopi Tubruk. Cappucino. Mochacino. Cafe Latte. Kopi Luwak. White Coffee. Dan masih banyak lagi kopi yang ditawarkan. Aku bingung. Mataku berputar-putar melihat jenis kopi yang begitu banyak. Ku tarik nafas yang dalam dan ku lepas panjang.
"Aku pesan Kopi Tubruk saja, satu." kataku.
"Oke, pak. Ada lagi? Rotinya Pak?" kata pelayan itu menawar.
"Tidak. Terima kasih." kataku dengan cepat.
"Baiklah, Pak. Mohon tunggu lima menit ya." katanya sambil membungkuk.
Tanpa membalas, aku hanya mengangguk kecil, lesuh.
Sementara menunggu. Aku yang duduk menyandarkan diri, tak sengaja kembali mengingat percakapanku dengan si supir angkot. Masih banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat rasa keprihatinan terhadap apa yang dialami si supir tua.
Kemudian, tanganku kembali menjelajahi tasku, mencari BlackBerry Bold 9000-ku yang usang dan sudah mulai ketinggalan zaman. Ku pandangi sejenak wallpaper yang ku pasang di BB-ku.
"Betapa cantiknya dirimu dan betapa beruntunganya aku memilikimu." kataku sambil tersenyum malu.
"Aku rindu padamu." aku mulai membatin.
Jari-jariku mulai mengetik nama kontak. M-y-H-o-n-e-y. Aku mengejanya pelan. Lalu ku tekan tombol bergambar gagang telepon berwarna hijau.
"Tut...tut...tut...tut..." suara di balik speaker BB-ku.
Ku coba sekali lagi. Lagi, dan lagi. Suara yang sama masih berbisik tenang di balik speaker.
"Mungkin dia masih marah." kataku dalam hati. Aku merenung.
Memang, hubunganku dengan kekasihku sejak kemarin malam kurang baik. Aku berjanji padanya bahwa aku akan menjemputnya malam itu. Kita akan malam malam di restoran seafood. Jam tujuh malam adalah perjanjiannya. Namun aku terlambat satu jam dari perjanjian. Dia marah besar padaku. Aku mencoba menjelaskan. Aku ingin menjelaskan padanya bahwa aku terlambat karena aku...
"Ini dia pesanannya, Pak." kata si pelayan mengejutkanku. Serial kenanganku lenyap seketika seraya si pelayan menaruh cangkir putih berisikan kopi kental yang menggebul.
"Oh...terima kasih." balasku sambil merapikan posisi dudukku.
"Kopi tubruk." kataku pelan.
Ku condongkan wajahku ke atas cangkir. Lubang hidungku mengembang, menghirup aroma yang dihasilkan kopi itu. Harum. Dadaku tak tahan menahan nafas seolah tak mengizinkan aroma itu pergi. Mulutku tak sabar menyeruput, ingin tahu rasa yang terkandung dari kopi yang aromanya harum itu. Ku teguk sekali. Tak puas ku teguk sekali lagi. Aku membisu. Ku sandarkan kembali tubuhku. Lalu ku buang nafas panjang. Aku tersenyum, bahkan aku tertawa. Aku tertawa karena cita rasa yang merasuk jiwaku karena kopi yang ku minum.
Benar saja. Aku tersenyum dan tertawa kecil mengingatnya. Kopi tubruk adalah kopi yang dibuat dengan cara mendidihkan biji kopi bersama gula. Tingkat didih yang diperlukan harus pas agar tidak ada biji kopi yang tersisa. Aku kembali tertawa bahkan mataku hampir mengeluarkan cairan bening. Aku merenung dalam keceriaan. Ternyata hidup ini adalah campuran dari keceriaan dan kesedihan. Seperti biji kopi yang rasanya pahit dan dicampurkan bersama gula yang rasanya manis namun menghasilkan satu cita rasa yang mengesankan. Memoriku kembali berputar mengingat rasa sedih si supir tua yang ditinggalkan anaknya, namun rasa semangat yang diperlihatkannya seperti mau menunjukkan bahwa hidup ini tidak selamanya harus ditangisi. Rasa kecewa dari pacarku dan rasa menyesal dariku dicampur rasa tertawa karena pelayan memanggilku bapak. Inilah hidup. Suatu anugerah. Punya cita rasa.
Kembali mulutku meneguk sisa kopi dalam cangkir sampai habis. Aku bernafas lega. Kembali ku ambil BB-ku, aku mau mengirim pesan teks pada kekasihku. Dengan semangat, jari-jariku mengetik nama kontak sebagai tujuan pesan: My_Honey. Dua jempolku, kiri dan kanan, beradu mengetik satu kalimat: "Sayang, aku minta maaf. Dari ketulusan hati yang paling dalam, kekasihmu, Kristo." Setelah itu jempol kananku menekan pilahan, SEND...
Tak lama setelah itu, aku pun berdiri bergerak maju ke arah kasir. Dengan senyum gembira bak seorang prajurit yang baru pulang dari medan perang membawa kemenangan, aku berkata
"Selamat sore, berapa bayarnya, Bu?"
"Lima ribu." katanya kental dengan logat Tomohon.
Ku serahkan selembar uang lima ribu usang padanya.
"Terima kasih ya, Bu." kataku masih dengan senyum mantap.
"Sama-sama." katanya dengan senyum kecil di bibirnya.
Kakiku melangkah pasti ke pintu keluar. Langkahku cepat seperti tak tahan ingin segera mencicipi hidup ini dengan segala cita rasanya. Ku lihat lagi jam tanganku. Pukul enam. Kepalaku menengadah ke atas dan mataku memeriksa langit, hujannya mulai reda. Lalu ku putuskan kembali ke kos dengan segala pengalaman berharga yang ku dapat hari ini.
TAMAT.
"Baiklah, Pak. Mohon tunggu lima menit ya." katanya sambil membungkuk.
Tanpa membalas, aku hanya mengangguk kecil, lesuh.
Sementara menunggu. Aku yang duduk menyandarkan diri, tak sengaja kembali mengingat percakapanku dengan si supir angkot. Masih banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat rasa keprihatinan terhadap apa yang dialami si supir tua.
Kemudian, tanganku kembali menjelajahi tasku, mencari BlackBerry Bold 9000-ku yang usang dan sudah mulai ketinggalan zaman. Ku pandangi sejenak wallpaper yang ku pasang di BB-ku.
"Betapa cantiknya dirimu dan betapa beruntunganya aku memilikimu." kataku sambil tersenyum malu.
"Aku rindu padamu." aku mulai membatin.
Jari-jariku mulai mengetik nama kontak. M-y-H-o-n-e-y. Aku mengejanya pelan. Lalu ku tekan tombol bergambar gagang telepon berwarna hijau.
"Tut...tut...tut...tut..." suara di balik speaker BB-ku.
Ku coba sekali lagi. Lagi, dan lagi. Suara yang sama masih berbisik tenang di balik speaker.
"Mungkin dia masih marah." kataku dalam hati. Aku merenung.
Memang, hubunganku dengan kekasihku sejak kemarin malam kurang baik. Aku berjanji padanya bahwa aku akan menjemputnya malam itu. Kita akan malam malam di restoran seafood. Jam tujuh malam adalah perjanjiannya. Namun aku terlambat satu jam dari perjanjian. Dia marah besar padaku. Aku mencoba menjelaskan. Aku ingin menjelaskan padanya bahwa aku terlambat karena aku...
"Ini dia pesanannya, Pak." kata si pelayan mengejutkanku. Serial kenanganku lenyap seketika seraya si pelayan menaruh cangkir putih berisikan kopi kental yang menggebul.
"Oh...terima kasih." balasku sambil merapikan posisi dudukku.
"Kopi tubruk." kataku pelan.
Ku condongkan wajahku ke atas cangkir. Lubang hidungku mengembang, menghirup aroma yang dihasilkan kopi itu. Harum. Dadaku tak tahan menahan nafas seolah tak mengizinkan aroma itu pergi. Mulutku tak sabar menyeruput, ingin tahu rasa yang terkandung dari kopi yang aromanya harum itu. Ku teguk sekali. Tak puas ku teguk sekali lagi. Aku membisu. Ku sandarkan kembali tubuhku. Lalu ku buang nafas panjang. Aku tersenyum, bahkan aku tertawa. Aku tertawa karena cita rasa yang merasuk jiwaku karena kopi yang ku minum.
Benar saja. Aku tersenyum dan tertawa kecil mengingatnya. Kopi tubruk adalah kopi yang dibuat dengan cara mendidihkan biji kopi bersama gula. Tingkat didih yang diperlukan harus pas agar tidak ada biji kopi yang tersisa. Aku kembali tertawa bahkan mataku hampir mengeluarkan cairan bening. Aku merenung dalam keceriaan. Ternyata hidup ini adalah campuran dari keceriaan dan kesedihan. Seperti biji kopi yang rasanya pahit dan dicampurkan bersama gula yang rasanya manis namun menghasilkan satu cita rasa yang mengesankan. Memoriku kembali berputar mengingat rasa sedih si supir tua yang ditinggalkan anaknya, namun rasa semangat yang diperlihatkannya seperti mau menunjukkan bahwa hidup ini tidak selamanya harus ditangisi. Rasa kecewa dari pacarku dan rasa menyesal dariku dicampur rasa tertawa karena pelayan memanggilku bapak. Inilah hidup. Suatu anugerah. Punya cita rasa.
Kembali mulutku meneguk sisa kopi dalam cangkir sampai habis. Aku bernafas lega. Kembali ku ambil BB-ku, aku mau mengirim pesan teks pada kekasihku. Dengan semangat, jari-jariku mengetik nama kontak sebagai tujuan pesan: My_Honey. Dua jempolku, kiri dan kanan, beradu mengetik satu kalimat: "Sayang, aku minta maaf. Dari ketulusan hati yang paling dalam, kekasihmu, Kristo." Setelah itu jempol kananku menekan pilahan, SEND...
Tak lama setelah itu, aku pun berdiri bergerak maju ke arah kasir. Dengan senyum gembira bak seorang prajurit yang baru pulang dari medan perang membawa kemenangan, aku berkata
"Selamat sore, berapa bayarnya, Bu?"
"Lima ribu." katanya kental dengan logat Tomohon.
Ku serahkan selembar uang lima ribu usang padanya.
"Terima kasih ya, Bu." kataku masih dengan senyum mantap.
"Sama-sama." katanya dengan senyum kecil di bibirnya.
Kakiku melangkah pasti ke pintu keluar. Langkahku cepat seperti tak tahan ingin segera mencicipi hidup ini dengan segala cita rasanya. Ku lihat lagi jam tanganku. Pukul enam. Kepalaku menengadah ke atas dan mataku memeriksa langit, hujannya mulai reda. Lalu ku putuskan kembali ke kos dengan segala pengalaman berharga yang ku dapat hari ini.
TAMAT.
1 komentar:
Jika komentarnya tak bisa diposting, posting saja di link ini:
http://facebook.com/krueger 'kristo' tumiwa
atau
http://www.facebook.com/profile.php?id=1588005870
atau
http://www.facebook.com/kristoTUMIWA
Sangat diharapkan komentar dan saran dari kalian semua.... :D
Posting Komentar