Sepak bola adalah salah satu olahraga yang paling digemari oleh hampir setiap insan manusia. Kegemaran akan sepak bola sangat dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat dan tidak memandang umur; mulai dari strata (jika masyarakat berstrata) masyarakat golongan ekonomi lemah sampai yang paling kaya, mulai dari golongan umur anak-anak sampai orang dewasa. Sepak bola juga bahkan dikatakan sebagai salah satu alat pemersatu.
Hampir setahun yang lalu, warga Indonesia dengan sekejap menjadi ramai membicarakan sepak bola. Mereka membicarakan Piala AFF yang diselenggarakan medio akhir tahun 2010, tepatnya bulan Desember. Sekedar info, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Piala AFF 2010, bersama Vietnam. Kedua negara akan menjadi tuan rumah bersama. Inilah kali ketiga Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Piala AFF. Pada tahun 2002, Indonesia menjadi tuan rumah Piala AFF bersama Singapura, sedangkan tahun kemarin (2008), Indonesia menjadi tuan rumah bersama Thailand. Hasil akhir kejuaraan tersebut ialah Malaysia menjadi juara dan Indonesia sebagai Runner-Up.
Kemudian, Indonesia juga berpartisipasi dalam kualifikasi Pra-Piala Dunia 2014 di Brasil. Tim Garuda menjadi tumpuan harapan segenap warga Indonesia dalam pertandingan ini. Pasalnya, warga Indonesia mengharapkan Tim Garuda mampu masuk dalam kejuaraan Piala Dunia yang sudah dinanti-nantikan sejak lama. Perjuangan Tim Garuda pun tidak mudah, apalagi dibarengi dengan setumpuk harapan dari warna Indonesia pecinta sepak bola. Warga pun antusias mendukung Tim Garuda, maka tak jarang kursi-kursi penonton di Stadion Gelora Bung Karno sering dipenuhi oleh para pendukung.
Dengan sekejap rasa nasionalisme yang tak terlihat dalam keseharian warga Indonesia pun kembali membara. Mereka tak segan-segan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia dan lagu penyemangat "Garuda Di Dadaku' ketika Tim Nasional Indonesia sedang berjuang. Inilah alasan mengapa sepak bola dikatan sebagai salah satu alat pemersatu. Ya! Di saat bangsa ini sedang digeluti oleh permasalahan korupsi, bencana alam, suap-menyuap, dan berbagai masalah lainnya yang membuat reputasi bangsa ini hancur, masyarakat seakan bersatu untuk Indonesia. Luar biasa!
Namun sayangnya, rasa nasionalisme yang muncul itu ialah rasa nasionalime yang dangkal. Ke-dangkal-an itu sangat terlihat di setiap pertandingan yang 'dilakoni' oleh Tim Garuda. Saat Tim Nasional Indonesia menang, para pendukung sangat bergembira dan tidak sungkan-sungkan berteriak: HIDUP INDONESIA!, mereka pula tidak merasa malu untuk berteriak di jalan-jalan atas kemenangan Indonesia, bahkan mereka pun dalam hitungan detik langsung menulis status di Facebook atau Twitter, misalnya: Bravo Indonesia! Aku mendukungmu! Tetapi 'bencana' tiba saat tim kesayangan mereka, Tim Garuda, dikalahkan oleh sang lawan. Berbagai ekspresi nasionalisme yang tadinya sangat membanggakan bila dilihat, dengan sekejap berubah menjadi hujatan bahkan hinaan; teriakan kebanggan berubah menjadi teriakan kekecewaan, bahkan status di 'social network' pun berubah menjadi hinaan kepada mereka yang telah berjuang di lapangan untuk Indonesia. Apakah ini yang dinamankan rasa nasionalisme? Sesungguhnya, TIDAK. Rasa nasionalisme sejati seharusnya tidak hanya mendukung disaat menang, tetapi juga menopang di saat kalah. Jika rasa nasionalisme sejati sudah tumbuh dalam setiap insan manusia di bumi Indonesia ini, maka bukan hanya karena sepak bola saja masyarakat bersatu, tetapi dalam berbagai hal masyarakat bisa bersatu untuk kemajuan negeri yang kita cintai ini. Semoga rasa nasionalisme yang dangkal tidak tercipta di Sea Games yang sedang berlangsung sekarang ini.
Namun sayangnya, rasa nasionalisme yang muncul itu ialah rasa nasionalime yang dangkal. Ke-dangkal-an itu sangat terlihat di setiap pertandingan yang 'dilakoni' oleh Tim Garuda. Saat Tim Nasional Indonesia menang, para pendukung sangat bergembira dan tidak sungkan-sungkan berteriak: HIDUP INDONESIA!, mereka pula tidak merasa malu untuk berteriak di jalan-jalan atas kemenangan Indonesia, bahkan mereka pun dalam hitungan detik langsung menulis status di Facebook atau Twitter, misalnya: Bravo Indonesia! Aku mendukungmu! Tetapi 'bencana' tiba saat tim kesayangan mereka, Tim Garuda, dikalahkan oleh sang lawan. Berbagai ekspresi nasionalisme yang tadinya sangat membanggakan bila dilihat, dengan sekejap berubah menjadi hujatan bahkan hinaan; teriakan kebanggan berubah menjadi teriakan kekecewaan, bahkan status di 'social network' pun berubah menjadi hinaan kepada mereka yang telah berjuang di lapangan untuk Indonesia. Apakah ini yang dinamankan rasa nasionalisme? Sesungguhnya, TIDAK. Rasa nasionalisme sejati seharusnya tidak hanya mendukung disaat menang, tetapi juga menopang di saat kalah. Jika rasa nasionalisme sejati sudah tumbuh dalam setiap insan manusia di bumi Indonesia ini, maka bukan hanya karena sepak bola saja masyarakat bersatu, tetapi dalam berbagai hal masyarakat bisa bersatu untuk kemajuan negeri yang kita cintai ini. Semoga rasa nasionalisme yang dangkal tidak tercipta di Sea Games yang sedang berlangsung sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar